Selasa, 03 Januari 2012
Cara Menggunakan Deep Freeze
- Setelah di download, jalankan atau klik dua kali pada Master Deep Freeze
- Selanjutnya pilih partisi hardisk yang akan di bekukan, saran saya pilih satu saja yaitupada partisi sistem operasi windows biasanya di C:, kemudian klik Install
- Pilih accept, kemudian next
- Selanjutnya klik finish, komputer akan restart. Tunggu sebentar sampai keluar gambar berikut
- Untuk mengatur penggunaan deep freeze seperti password, status, dsbnya , klik yes pada gambar diatas atau tekan Shift dan klik dua kali pada gambar deep freeze di taskbar - Karena passwordnya masih kosong langsung kli saja OK. Klik di tab password untuk memberi password pada deep freeze, kemudia klik Ok.
- Sampai disini anda telah berhasil menginstall deep freeze pada komputer dan telah diberi password, Untuk mematikan fungsi deep freeze, login ke deep freeze menggunakan cara no.5 atau tekan Ctrl + Shift +alt + F6 kemudian pilih pada tab Boot Control “Boot Thawed”. Klik Ok dan restart komputer.
- Jika gambar ini telah muncul ditaksbar maka fungsi deep freeze telah dimatikan, untuk mengembalikan fungsi deep freeze ke keadaan semula login ke deep freeze, pilih tab Boot Control dan pilih “Boot Frozen“. Atau bisa juga mengatur mematikan fungsi deep freeze setelah beberapa kali restart dan mengembalikan ke keadaan semula, pada tab Boot Control pilih “Boot Thawed on next“.
- Untuk menguninstall deep freeze, matikan terlebih dahulu status deep freeze menggunakan cara no. 7, kemudian gunakan master deep freeze yang sebelumnya di gunakan untuk menginstall deep freeze .
Mengembalikan Taks Manager yang terDISABLE
Bila komputer anda mengalami masalah Task Manager tidak bisa di ampilkan dan pada saat anda menekan CTRL + ALT + DEL (tanpa plus) muncul pesan seperti berikut
sudah tentu bahwa DWORD value dalam regedit yang bernilai 0 (nol) sudah di ubah menjadi 1 (satu), nah untuk mengembalikannya ikuti langkah-langkah atau tips dari belajar ilmu komputer berikut :
Langkah pertama
Ini dilakukan dengan asusmi bahwa komputer anda sudah terbebas dari virus (lakukan pembersihan virus pada komputer anda terlebih dahulu)
Masuk regedit dengan cara ketik regedit pada run menu, caranya klik start - run kemudian ketik regedit dan tekan Enter atau klik OK
Langkah kedua
Klik menu Edit kemudian pilih Find dan ketikkan kata DisableTaskMgr (penulisan tidak tegantung huruf kecil/besar) kemudian klik Find Next hingga menemukan data seperti berikut
bila sudah menemukan data seperti di atas maka ikuti langkah berikut ini
Langkah ketiga
Mengubah Value data DisableTaskMgr dengan cara double klik pada kata DisableTaskMgr dan ubah angka 1 (satu) menjadi 0 (nol) dan tekan ENTER atau klik OK dengan maksud agar Task Manager di enable kan
Langkah keempat
Tutup regedit dan coba tekan CTRL + ALT+ DEL
sumber : http://belajar-ilmu-komputer.blogspot.com/2008/05/mengembalikan-task-manager.html
Sejarah Komputer dan Perkembanganya
Saat ini komputer dan piranti pendukungnya telah masuk dalam setiap aspek kehidupan dan pekerjaan. Komputer yang ada sekarang memiliki kemampuan yang lebih dari sekedar perhitungan matematik biasa. Diantaranya adalah sistem komputer di kassa supermarket yang mampu membaca kode barang belanja, sentral telepon yang menangani jutaan panggilan dan komunikasi, jaringan komputer dan internet yang menghubungkan berbagai tempat di dunia.
Sejarah Komputer menurut periodenya adalah:
- Alat Hitung Tradisional dan Kalkulator Mekanik
- Komputer Generasi Pertama
- Komputer Generasi Kedua
- Komputer Generasi Ketiga
- Komputer Generasi Keempat
- Komputer Generasi Kelima
1. Komputer Generasi Pertama (1946 – 1959)
Dengan terjadinya Perang Dunia II, negaranegara yang terlibat dalam perang tersebut berusaha mengembangkan untuk mengeksploit potensi strategis yang dimiliki komputer.
Hal ini meningkatkan pendanaan pengembangan komputer serta mempercepat kemajuan teknik komputer.
(1) Colassus
(2) Mark I
(3) ENIAC
(4) EDVAC
(5) UNIVAC I
Ciri komputer generasi pertama adalah:
- Penggunaan tube vakum (yang membuat komputer pada masa tersebut berukuran sangat besar)
- Adanya silinder magnetik untuk penyimpanan data.
- Instruksi operasi dibuat secara spesifik untuk suatu tugas tertentu.
- Setiap komputer memiliki program kodebiner yang berbeda yang disebut “bahasa mesin” (machine language). Hal ini menyebabkan komputer sulit untuk diprogram dan membatasi kecepatannya.
2. Komputer Generasi Kedua (1959 – 1964)
Stretch dan LARC
Mesin pertama yang memanfaatkan teknologi baru ini adalah superkomputer. IBM membuat superkomputer bernama Stretch, dan Sprery Rand membuat komputer bernama LARC. Komputerkomputer ini,yang dikembangkan untuk laboratorium energi atom, dapat menangani sejumlah besar data, sebuah kemampuan yang sangat dibutuhkan oleh peneliti atom. Mesin tersebut sangat mahal dan cenderung terlalu kompleks untuk kebutuhan komputasi bisnis, sehingga membatasi kepopulerannya.
Hanya ada dua LARC yang pernah dipasang dan digunakan: satu di Lawrence Radiation Labs di Livermore, California, dan yang lainnya di US Navy Research and Development Center di Washington D.C. Komputer generasi kedua menggantikan bahasa mesin dengan bahasa assembly. Bahasa assembly adalah bahasa yang menggunakan singkatansingakatan untuk menggantikan kode biner.
Pada awal 1960an, mulai bermunculan komputer generasi kedua yang sukses di bidang bisnis, di universitas, dan di pemerintahan. Komputer generasi kedua ini merupakan komputer yang sepenuhnya menggunakan transistor. Mereka juga memiliki komponenkomponen yang dapat diasosiasikan dengan komputer pada saat ini: printer, penyimpanan dalam disket, memory, sistem operasi, dan program.
Ciri-ciri komputer pada generasi kedua:
- Penggunaan transistor sehingga ukurannya lebih kecil
- Adanya pengembangan memori intimagnetik membantu pengembangan komputer generasi kedua yang lebih kecil, lebih cepat, lebih dapat diandalkan, dan lebih hemat energi dibanding para pendahulunya
- Penggantian dari bahasa mesin menjadi bahasa Asembly
- Muncul bahasa pemrograman COBOL dan FORTRAN
3. Komputer Generasi Ketiga (1964 – 1970)
Walaupun transistor dalam banyak hal mengungguli tube vakum, namun transistor menghasilkan panas yang cukup besar, yang dapat berpotensi merusak bagianbagian internal komputer. Batu kuarsa (quartz rock) menghilangkan masalah ini. Jack Kilby, seorang insinyur di Texas Instrument, mengembangkan sirkuit terintegrasi (IC : integrated circuit) di tahun 1958. IC mengkombinasikan tiga komponen elektronik dalam sebuah piringan silikon kecil yang terbuat dari pasir kuarsa.
Pada ilmuwan kemudian berhasil memasukkan lebih banyak komponenkomponen ke dalam suatu chiptunggal yang disebut semikonduktor. Hasilnya, komputer menjadi semakin kecil karena komponenkomponen dapat dipadatkan dalam chip. Kemajuan komputer generasi ketiga lainnya adalah penggunaan system operasi (operating system) yang memungkinkan mesin untuk menjalankan berbagai program yang berbeda secara serentak dengan sebuah program utama yang memonitor dan mengkoordinasi memori komputer.
Ciri-ciri komputer pada generasi ketiga:
- Penggunaan IC(Intregrated Circuit)
- Ukuran komputer menjadi lebih kecil
- Ditemukannya Sistem Operasi
4. Komputer Generasi Keempat (1979 – sekarang)
Setelah IC, tujuan pengembangan menjadi lebih jelas: mengecilkan ukuran sirkuit dan komponenkomponen elektrik. Large Scale Integration (LSI) dapat memuat ratusan komponen dalam sebuah chip. Pada tahun 1980 an, Very Large Scale Integration (VLSI) memuat ribuan komponen dalam sebuah chip tunggal. UltraLarge Scale Integration (ULSI) meningkatkan jumlah tersebut menjadi jutaan. Kemampuan untuk memasang sedemikian banyak komponen dalam suatu keping yang berukurang setengah keping uang logam mendorong turunnya harga dan ukuran komputer. Hal tersebut juga meningkatkan daya kerja, efisiensi dan keterandalan komputer.
Chip Intel 4004 yang dibuat pada tahun 1971 membawa kemajuan pada IC dengan meletakkan seluruh komponen dari sebuah komputer (central processing unit, memori, dan kendali input/output) dalam sebuah chip yang sangat kecil. Sebelumnya, IC dibuat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu yang spesifik. Sekarang, sebuah mikroprosesor dapat diproduksi dan kemudian diprogram untuk memenuhi seluruh kebutuhan yang diinginkan. Tidak lama kemudian, setiap perangkat rumah tangga seperti microwave oven, televisi, dan mobil dengan electronic fuel injection dilengkapi dengan mikroprosesor.
Perkembangan yang demikian memungkinkan orangorang biasa untuk menggunakan komputer biasa. Komputer tidak lagi menjadi dominasi perusahaanperusahaan besar atau lembaga pemerintah. Pada pertengahantahun 1970an, perakit komputer menawarkan produk komputer mereka ke masyarakat umum. Komputerkomputer ini, yang disebut minikomputer, dijual dengan paket piranti lunak yang mudah digunakan oleh kalangan awam. Piranti lunak yang paling populer pada saat itu adalah program word processing dan spreadsheet. Pada awal 1980an, video game seperti Atari 2600 menarik perhatian konsumen pada komputer rumahan yang lebih canggih dan dapat diprogram.
Pada tahun 1981, IBM memperkenalkan penggunaan Personal Computer (PC) untuk penggunaan di rumah, kantor, dan sekolah. Jumlah PC yang digunakan melonjak dari 2 juta unit di tahun 1981 menjadi 5,5 juta unit di tahun 1982. Sepuluh tahun kemudian, 65 juta PC digunakan. Komputer melanjutkan evolusinya menuju ukuran yang lebih kecil, dari komputer yang berada di atas meja (desktop computer) menjadi komputer yang dapat dimasukkan ke dalam tas (laptop), atau bahkan komputer yang dapat digenggam (palmtop).
IBM PC bersaing dengan Apple Macintosh dalam memperebutkan pasar komputer. Apple Macintosh menjadi terkenal karena mempopulerkan system grafis pada komputernya, sementara saingannya masih menggunakan komputer yang berbasis teks. Macintosh juga mempopulerkan penggunaan piranti mouse.
Pada masa sekarang, kita mengenal perjalanan IBM compatible dengan pemakaian CPU: IBM PC/486, Pentium, Pentium II, Pentium III, Pentium IV (Serial dari CPU buatan Intel). Juga kita kenal AMD k6, Athlon, dsb. Ini semua masuk dalam golongan komputer generasi keempat. Seiring dengan menjamurnya penggunaan komputer di tempat kerja, cara cara baru untuk menggali potensial terus dikembangkan. Seiring dengan bertambah kuatnya suatu komputer kecil, komputerkomputer tersebut dapat dihubungkan secara bersamaan dalam suatu jaringan untuk saling berbagi memori, piranti lunak, informasi, dan juga untuk dapat saling berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Komputer jaringan memungkinkan komputer tunggal untuk membentuk kerjasama elektronik untuk menyelesaikan suatu proses tugas. Dengan menggunakan perkabelan langsung (disebut juga local area network, LAN), atau kabel telepon, jaringan ini dapat berkembang menjadi sangat besar.
Ciri-ciri komputer pada generasi keempat:
• Digunakannya LSI, VLSI, ULSI
• Digunakannya mikroprosesor
Banyak kemajuan di bidang disain komputer dan teknologi semakin memungkinkan pembuatan komputer generasi kelima. Dua kemajuan rekayasa yang terutama adalah kemampuan pemrosesan paralel, yang akan menggantikan model von Neumann. Model von Neumann akan digantikan dengan sistem yang mampu mengkoordinasikan banyak CPU untuk bekerja secara serempak. Kemajuan lain adalah teknologi superkonduktor yang memungkinkan aliran elektrik tanpa ada hambatan apapun, yang nantinya dapat mempercepat kecepatan informasi.
sumber : http://merahitam.com/sejarah-komputer-dan-perkembanganya.html
Sejarah Photoshop
John Knoll Thomas Knoll
User Interface Adobe Photoshop dari jaman jadul hingga sekarang
sumber : http://www.forumsains.com/ilmu-komputer/mengenal-sejarah-adobe-photoshop/
Proses Control Manajemen Resiko Operasional
Dewan Direksi dan Manajemen Senior bertanggung jawab menciptakan budaya organisasi yang menempatkan prioritas tinggi pada pengendalian operasional yang efektif dan kepatuhan pada pengendalian operasional yang sehat. Manajemen risiko operasional sangat efektif jika budaya bank mendorong standar tingkah laku etis yang tinggi di semua tingkatan bank. Dewan dan Manajemen senior harus mempromosikan budaya organisasi yang membangun melalui tindakan dan kata-kata harapan integritas untuk semua pegawai dalam melakukan bisnis bank.
Prinsip-prinsip yang harus dijalankan supaya suatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan prosedur operasional yang berlaku dan meminimasi resiko operasional dan resiko-resiko yang lain adalah seperti yang dijelaskan sbb:
Prinsip 1: Board of director, sebagai pimpinan tertinggi organisasi harus menyadari aspek utama risiko operasional bank yang harus dikelola, dan harus menyetujui dan mereview secara periodik kerangka manajemen risiko operasional bank. Kerangka harus memberi definisi risiko operasional menyeluruh pada perusahaan dan menentukan standar untuk mengidentifikasi, menilai, memonitor, dan mengendalikan (control/mitigate) risiko operasional. Di sini dewan harus harus menyetujui implementasi kerangka kerja keseluruhan yang secara jelas mengelola risiko operasional sebagai suatu risiko tersendiri untuk kesehatan dan kekuatan bank. Dewan harus menyediakan tuntunan yang jelas bagi manajer senior dan arahan yang menyangkut prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja tersebut dan menyetujui kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang dikembangkan oleh manajer senior.
Kerangka kerja harus mencakup selera dan toleransi risiko operasional buat bank, seperti yang dinyatakan dalam kebijakan mengenai manajemen risiko dan prioritas bank terhadap aktivitas-aktivitas manajemen risiko operasional, termasuk tingkatan, dan tindakan dimana risiko operasional dialihkan kepihak lain diluar bank. Harus juga termasuk kebijakan yang secara garis besar pendekatan bank untuk melakukan identifikasi, menilai, monitor dan kontrol/mitigasi risiko. Tingkatan kesulitan dan kecanggihan dari kerangka kerja manajemen risiko operasional bank harus selaras dengan profil risiko bank. Karena aspek yang penting dalam mengelola risiko operasional berhubungan dengan kekuatan pengendalian intern, oleh karenanya sangat penting bagi Dewan menetapkan kejelasan lini tanggung jawab manajemen, akuntabilitas, dan pelaporan. Harus ada pemisahan tanggung jawab dan lini pelaporan antara fungsi kontrol risiko operasional, lini bisnis dan fungsi pendukung untuk menghindari benturan kepentingan. Kerangka kerja harus juga menyatakan proses kunci yang dibutuhkan perusahaan yang harus ada untuk mengelola risiko operasional.
Prinsip 2: Board of directors, sebagai pimpinan tertinggi organisasi harus memastikan bahwa ada audit reguler terhadap kerangka manajemen risiko operasional yang dilakukan oleh tim internal yang independen dan kompeten (yaitu independen dari tim risiko operasional – biasanya fungsi internal audit). Bank harus memiliki cakupan internal audit yang memadai untuk verifikasi kebijakan dan prosedur operasi telah diimplementasikan secara efektif. Dewan (baik langsung atau tidak langsung melalui komite auditnya) harus memastikan bahwa cakupan dan frekwensi program audit telah sesuai dengan eksposur risiko. Audit harus secara berkala memvalidasi kerangka kerja manajemen risiko operasional perusahaan telah diimplementasikan secara eketif di seluruh bagian dalam perusahaan.
Walaupun fungsi audit terlibat dalam pengawasan kerangka kerja manajemen risiko operasional, Dewan harus memastikan independensi audit tetap terjaga. Independensi ini mungkin akan ternodai jika fungsi audit terlibat langsung dalam proses manajemen risiko operasional. Fungsi audit mungkin akan menyediakan masukan yang bernilai untuk mereka yang bertanggung jawab pada manajemen risiko operasional, tetapi tidak boleh memiliki tanggung jawab manajemen risiko operasional secara langsung. Dalam praktiknya, Komite menyadari fungsi audit pada beberapa bank (khususnya bank yang lebih kecil) mungkin akan memiliki tanggung jawab awal untuk mengembangkan program manajemen risiko operasional. Jika hal itu terjadi, bank harus menyadari bahwa tanggung jawab sehari-hari dalam mengelola risiko operasional akan dialihkan kepihak lain dalam waktu yang tepat.
Prinsip 3: Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk implementasi kerangka manajemen risiko operasional yang disetujui oleh board of director. Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk pengembangan kebijakan, proses dan prosedur untuk mengelola risiko operasional pada bank. Manajemen harus menerjemahkan kerangka kerja manajemen risiko operasional yang dikembangkan oleh Dewan Direksi dalam kebijakan, proses dan prosedur yang spesifik yang dapat diimplementasikan dan diverifikasi dalam unit bisnis yang berbeda. Sementara level manajemen masing-masing bertanggung jawab untuk kesesuaian dan keefektifan kebijakan, proses, prosedur dan kontrol dalam cakupannya, senior manajemen harus secara jelas memberikan otoritas, tanggung jawab dan hubungan pelaporan untuk memajukan dan memelihara akuntabilitas, dan memastikan bahwa sumber daya yang diperlukan telah tersedia untuk mengelola risiko operasional secara efektif.
Lebih lagi, manajemen senior harus menilai kesesuaian proses pengawasan manajemen yang sesuai dengan risiko yang terkandung dalam kebijakan bisnis unit. Manajemen senior harus memastikan bahwa aktivitas bank telah dilakukan oleh staff yang kompeten dengan pengalaman yang memadai, kemampuan teknis dan akses kepada sumber daya.Manajemen senior harus memastikan bahwa staff yang bertanggung jawab untuk mengelola risiko operasional berkomunikasi secara efektif dengan staff yang bertanggung jawab mengelola risiko kredit, pasar dan lainnya, juga dengan mereka yang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk mengadakan layanan eksternal seperti pembelian asuransi dan perjanjian-perjanjian dengan outsourcing. Kealpaan melakukan hal itu akan mengakibatkan kesenjangan yang besar atau tumpang tindih dalam program manajemen risiko keseluruhan.
Manajemen senior harus memastikan bahwa kebijakan penggajian telah konsisten dengan selera risiko. Kebijakan penggajian yang justru memberi penghargaan kepada staff yang menyimpang dari kebijakan (contohnya melampaui limit yang telah ditetapkan) akan melemahkan proses manajemen risiko bank. Perhatian khusus juga harus diberikan pada kualitas kontrol dokumentasi dan praktik penanganan transaksi. Kebijakan, proses dan prosedur yang berhubungan dengan teknologi maju yang mendukung transaksi dalam jumlah yang besar, khususnya, harus didokumentasikan dan disebarluaskan kepada orang yang relevan.
Prinsip 4 : Identifikasi dan menilai risiko operasional yang terkandung di dalam semua produk, aktivitas, proses dan sistem. Identifikasi risiko adalah kaki bukit dari pengembangan berkelanjutan monitor dan sistem kontrol risiko operasional yang bisa dilakukan. Identifikasi risiko yang efektif mempertimbangkan faktor internal (seperti struktur bank, karakteristik aktivitas bank, kualitas SDM bank, perubahan organisasi, perputaran staf) dan faktor eksternal (seperti perubahan dalam industri dan kemajuan teknologi) yang dapat mempengaruhi secara buruk pencapaian tujuan bank. Sebagai tambahan, untuk melakukan identifikasi potensi risiko terburuk, bank harus menilai kerapuhan pada risiko-risiko ini. Penilaian risiko yang efektif membuat bank menyadari dengan lebih baik profil risikonya dan secara sangat efektif sumber daya-sumber daya tujuan manajemen risiko. Berbagai perangkat yang mungkin digunakan untuk melakukan identifikasi dan penilaian risiko operasional, antara lain:
Saat ini bank dinilai lemah di dalam menjalankan aktivitas operasionalnya sehingga memiliki potensial resiko operasional yang cukup besar. Oleh karena itu dibutuhkan Self – or Risk Assesment untuk membantu melakukan pengendalian terhadap resiko oeprasional. Proses ini digerakkan dari internal dan seringkali dalam bentuk checklist (daftar pertanyaan) dan/atau lokakarya (workshop) untuk melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan lingkungan risiko operasional. Scorecards, sebagai contoh, menyediakan cara menerjemahkan penilaian kualitatif menjadi metric kuantitatif yang memberikan peringkat berbagai tipe eksposur risiko operasional. Nilai tertentu mungkin berhubungan dengan risiko yang hanya ada pada lini bisnis tertentu sementara lainnya mungkin memeringkat risiko yang ada pada beberapa lini bisnis. Nilai mungkin menunjukkan risiko inheren, juga kontrol-kontrol untuk mitigasinya. Sebagai tambahan, Scorecards mungkin digunakan oleh bank untuk mengalokasikan modal ekonomis (economic capital) pada berbagai lini bisnis dalam hubungan dengan kinerja dalam pengelolaan dan kontrol berbagai aspek risiko operasional.
Selain itu sebagai langkah untuk mengendalikan resiko operasional adalah dengan Operasional
Risk Mapping: dalam proses ini, berbagai unit bisnis, fungsi organisasi atau alur proses dipetakan dalam type risiko. Latihan ini dapat mengungkapkan area-area yang lemah dan menolong membuat prioritas tindakan manajemen selanjutnya.
Risk Indicators: Adalah indikator risiko adalah statistik dan atau metrik, seringkali berhubungan dengan finansial, yang dapat menyediakan pengertian tentang posisi risiko bank. Indikator-indikator ini cenderung dikaji berkala (mungkin bulanan atau kuartalan) untuk mengingatkan bank pada perubahan indikasi yang menjadi perhatian risiko. Indikator-indikator ini mungkin termasuk jumlah kegagalan perdagangan, tingkat perputaran karyawan dan frekwensi dan/atau dampak kesalahan dan kelalaian
sumber : http://vibizmanagement.com/journal/index/category/quality_management/117
IMPLEMENTASI BASEL II DI INDONESIA
SEKILAS IMPLEMENTASI BASEL II DI INDONESIA
:: Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal
Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional.
Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.
Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.
sumber : http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Implementasi+Basel+II/
Sistem dan regulasi perbankan Indonesia
Sistem perbankan Indonesia
Undang-undang perbankan tahun 1992 dan 1998 menetapkan dua jenis bank di Indonesia. Bank umum menawarkan berbagai jasa keuangan termasuk transaksi devisa. Bank umum memiliki akses terhadap sistem pembayaran dan menyediakan pelayanan perbankan secara umum.
Bank Perkreditan Rakyat atau BPR, jauh lebih kecil daripada bank umum dan umumnya beroperasi pada wilayah tertentu saja. BPR menerima simpanan nasabah namun tidak memiliki akses terhadap sistem pembayaran.
Selain bank, terdapat pula lembaga-lembaga kecil non-bank seperti badan kredit desa (BKD) dan lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP).
Regulasi perbankan
Regulasi sistem perbankan berkembang pesat sejak 1998 sebagai respon terhadap tantangan pasar keuangan domestik. Cukup banyak area di pasar keuangan yang telah dicakup oleh regulasi baru sehingga menciptakan kerangka kerja regulasi yang komprehensif.
Garis besar UU dan regulasi yang telah diimplementasikan sejak tahun 1998.
UU Perbankan tahun 1998 (perubahan terhadap UU Perbankan 1992)
UU ini mendefinisikan setiap jenis bank dan persyaratan serta pembatasan yang diterapkan kepada setiap jenis bank.
UU Bank Indonesia (1999)
UU ini menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen. UU ini juga menetapkan tujuan dan tugas Bank Indonesia.
PBI tentang Audit and Kepatuhan (1999)
PBI ini mendefinisikan persyaratan untuk fungsi audit dan kepatuhan di bank.
PBI tentang Bank Umum (2000)
PBI ini menetapkan persyaratan perizinan dan operasional bank umum
PBI tentang Know Your Customer (2001)
PBI ini menetapkan prosedur dan praktek yang harus digunakan bank untuk mengenali nasabah dan memonitor aktivitas rekeningnya
PBI tentang Uji Kelayakan dan Kepatutan (2003)
PBI ini menetapkan uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan Bank Indonesia untuk pemegang saham pengendali dan manajemen senior bank
PBI tentang Risiko Pasar (2003)
PBI ini menetapkan persyaratan modal minimum untuk bank umum dengan memperhatikan posisi risiko pasarnya
PBI tentang Manajemen Risiko (2003)
PBI ini menetapkan persyaratan infrastruktur manajemen risiko bank
PBI tentang Rencana Bisnis Bank Umum (2004)
PBI ini mewajibkan bank umum untuk menyusun dan menyampaikan rencana bisnis jangka pendek dan menengah
PBI tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (2005)
PBI ini menetapkan batasan konsentrasi risiko dalam portfolio kredit bank
PBI tentang Sistem Informasi Debitur (2005)
PBI ini mempersyaratkan bank untuk menyampaikan informasi mengenai seluruh debiturnya kepada pusat informasi kredit
PBI tentang Sekuritisasi Aset (2005)
PBI ini menetapkan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh bank dalam menggunakan dan melaksanakan sekuritisasi aset.
Bank Indonesia telah menerbitkan Arsitektur Perbankan Indonesia yang menetapkan arah, garis besar dan struktur industri perbankan untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan. Arsitektur Perbankan Indonesia akan diimplementasikan secara bertahap dengan cakupan sasaran sebagai berikut:
memperkuat struktur perbankan nasional
meningkatkan kualitas pengaturan perbankan
meningkatkan fungsi pengawasan
meningkatkan kualitas manajemen dan operasional bank
mengembangkan infrastruktur perbankan
meningkatkan perlindungan nasabah
sumber : http://ircboy.wordpress.com/2011/06/25/sistem-dan-regulasi-perbankan-indonesia/
REGULASI PERBANKAN
· Bank adalah sebuah institusi yang memiliki surat izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan pinjaman, dan menerima serta menerbitkan check.
· Risiko didefinisikan sebagai peluang terjadi bad outcome (hasil yang buruk), dan besarnya peluang dapat diestimasikan.
· Risk event (kejadian risiko) adalah terjadinya suatu peristiwa yang menciptakan potensi terjadinya kerugian (hasil buruk).
· Risk loss (risiko kerugian) adalah kerugian yang terjadi sebagai dampak langsung atau tidak langsung dari kejadian risiko. Kerugian tersebut dapat bersifat finansial atau non-finansial.
Bank Bersifat Khusus
Bank disebut bersifat “khusus” karena permasalahan di perbankan bisa mengakibatkan dampak yang serius bagi perekonomian. Bank sebagai perantara (intermediary), artinya, bank adalah sebuah lembaga untuk menyalurkan dana deposito dari nasabah kepada perusahaan-perusahaan (yang berupa suatu pinjaman). Apabila pinjaman yang diberikan bank ternyata tidak dapat dikembalikan oleh perusahaan, hal in akan menimbulkan insolvabilitas (insolvency) yang akan merusak modal pemegang saham (shareholder equity) dan dana dari nasabah. Hal itu disebabkan karena bank memiliki rasio utang terhadap modal (gearing) yang tinggi (highly geared / highly leveraged).
Tidak seperti perusahaan keuangan, maupun industri lain, regulasi bagi industri perbankan tidak hanya mencakup produk dan jasa yang ditawarkan, tetapi juga mencakup lembaga bank itu sendiri. Hal ini karena kegagalan bank akan memberikan dampak jangka panjang yang mendalam terhadap perekonomian.
Berkaitan dengan hal tersebut, otoritas pengawas perbankan (supervisor) menetapkan:
a. Struktur Modal
Struktur modal adalah cara bank untuk mendanai bisnisnya, biasanya melalui kombinasi pemberian saham, obligasi, dan penerimaan pinjaman.
b. Persyaratan Modal Minimum
Sebuah bank dikatakan memiliki modal yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mengantisipasi potensi kerugianna.
c. Tingkat Likuiditas Minimum
Bank dikatakan memiliki likuiditas yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mendanai aktivanya (asetnya) dan memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo.
d. Jenis dan Struktur Pemberian Kredit
Bank, Risiko Sistematik, dan Perekonomian
Risiko sistemik adalah risiko di mana kegagalan sebuah bank tidak hanya berdampak langsung terhadap karyawan, nasabah, dan pemegang saham, tetapi bahkan dapat menghancurkan perekonomian. Hal ini lebih dikenal dengan sebutan “run on a bank” atau “bank rush”, yaitu penarikan dana besar-besaran dari bank.
“Run on a bank” terjadi ketika bank tidak mampu memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain bank tidak memiliki dana kas yang cukup untuk membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya (ada masalah solvabilitas). Solvabilitas dari suatu bank tidak hanya menjadi perhatian pemegang saham, nasabah, maupun karyawan, tetapi juga pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatur ekonomi.
Sebelum tahun 1930-an, “run on banks” dan masalah solvabilitas relatif sering terjadi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengendalikan bank melalui regulasi, dengan memastikan bahwa bank memiliki modal dan memiliki likuiditas yang mencukupi.
Bank sentral sebagai supervisor harus memastikan bahwa bank dapat:
· memenuhi sejumlah permintaan dari deposan yang ingin dananya dikembalikan, tanpa perlu mencairkan pinjamannya (menjual asetnya), dan
· mempertahankan tingkat kerugian yang masuk akal sebagai akibat dari lemahnya sistem pemberian pinjaman atas siklus ekonomi yang turun. Misalnya, dapat bertahan saat resesi.
Sebelumnya tingkat kecukupan modal dan likuiditas tidak diterapkan secara tegas, hanya dihubungkan dengan persentase dari kredit (pinjaman). Namun, ada ‘missing link’(suatu keterkaitan yang hilang dalam menghitung tingkat modal yang cukup bagi bank, yaitu besarnya risiko yang diambil bank. Semakin tinggi risiko yang diambil semakin besar potensi kerugian yang dihadapi. Dengan demikian, semakin besar modal yang harus disediakan. Bank mengambil risiko yang lebih besar, karena mengharapkan keuntungan (margin) yang lebih besar (high risk high return / reward).
Ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban dan membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya dapat terjadi karena:
· Risiko kredit yang buruk
· Persepsi dari sebagian nasabahnya (bersifat tidak nyata)
· Gejolak ekonomi (economic shock), sehingga debitur macet akan meningkat secara signifikan
Bank masih akan terkena risiko perekonomian negara, walaupun sudah melakukan diversifikasi portofolio kreditnya.
Pada dasarnya, perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh:
· External shock (guncangan eksternal), misalnya bencana alam atau peristiwa karena perbuatan manusia; dan
· Economic mismanagement (pengelolaan ekonomi yang buruk).
Memburuknya perekoniman suatu negara berdampak pada meningkatnya jumlah kredit macet. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga, penurunan kinerja perusahaan, dan kenaikan tingkat pengangguran. Beberapa hal yang dapat dilakukan bank untk mengurangi dampak tersebut adalah:
· Mematuhi peraturan (termasuk Basel II);
· Membuat skenario atas economic shocks;
· Memiliki tingkat modal yang cukup untuk menjaga dari dampak economic shocks;
· Memperkirakan tingkat kredit macet dan memastikan bahwa tersedia modal yang mencukupi.
Modal
Modal adalah investasi dari pemegang saham bank, dan dapat diukur dari nilai yang tercatat di neraca. Modal yang mencukupi merupakan sumber daya yang penting bagi bank untuk memastikan solvency. Modal bank adalah satu-satunya sumber daya yang dapat menyerap kerugian karena tidak harus dibayar kembali.
Bank diharuskan memiliki modal yang mencukupi untuk menghadapi tingkat risiko yang diambil. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi pula modal yang dipersyaratkan. Tingkat kecukupan modal berdasarkan tingkat risiko disebut risk-based capital. Perkembangan perbankan internaisonal pada tahun 1970-an dan 1980-an yang pesat membuat persaingan dan risiko menjadi semakin meningkat, berarti;
· Risk based capital menjadi semakin berarti
· Supervisor lebih yakin bahwa bank internasional harus memiliki cukup modal untuk menghadapi risiko (capital adequancy).
Gearing
Gearing adalah rasio dari jumlah utang (company debt) dibandingkan dengan modal (capital) yang dipunyai. Bank yang memiliki utang yang jauh lebih besar daripada modalnya, disebut “highly geared” (‘highly leveraged’).
Insolvency (Insolvabilitas)
Insolvabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan membayar klaim (apa pun jenisnya) yang telah jatuh tempo. Dampak krisis solvabilitas sebuah bank pada ekonomi biasanya kecil. Akan tetapi, jika krisis solvabilitas terjadi pada seluruh sektor perbankan maka seluruh perekonomian akan terkena dampaknya.
Lender of Last Resort
Bank sentral sebagai “Lender of last Resort” harus siap memberikan bantuan dana kepada bank umum untuk menjaga stabilitas sistem finansial dan untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi yang diakibatkan oleh krisis solvabilitas maupun krisis likuiditas.
Pengaruh Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an, merupakan alasan utama kenapa kebijakan moneter yang sukses tidak menghasilkan stabilitas keuangan.
Turunnya peran pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian disebabkan oleh:
· dihilangkannya penghalang kompetisi antar lembaga keuangan (terjadinya persaingan bebas), termasuk liberalisasi izin pendirian bank yang menjadi bagian utama regulasi sampai tahun 1970-an;
· dihilangkannya pembatasan penetapan harga atas transaksi keuangan, seperti misalnya suku bunga maksimum atas pinjaman dan deposito;
· dihilangkannya pembatasan pergerakan modal internasional, yang mengiringi pengenalan atas pertukaran mata uang.
Liberalisasi di pasar keuangan meningkatkan situasi persaingan di perbankan, yaitu dengan cara:
· Menurunkan kemampuan bank untuk memiliki margin keuntungan yang tinggi (produk-produk harus memiliki harga yang kompetitif).
· Meningkatkan masuknya pemain baru sehingga meningkatkan kompetisi.
Kesulitan memperoleh keuntungan dalam kondisi seperti tersebut, memaksa bank untuk mengambil risiko yang leibh tinggi untuk menjaga tingkat pendapatannya.
Inovasi Produk Finansial
Liberalisasi sektor finansial melahirkan suatu periode di mana inovasi tercipta dengan cepat, terutama pertumbuhan produk keuangan seperti futures, swaps, dan options (produk derivatif) dan sekuritisasi aset. Melalui produk-produk tersebut, bank dapat melakukan transfer risiko antarsesama bank kepada investor dari pasar yang lain.
Perkembangan Internasional
Kontrol atas persiangan antarnegara juga mengalami liberalisasi sebagai akibat dari perkembangan perdagangan bebas. Namun mungkin yang lebih signifikan, itu semua sebagai akibat dari meningkatnya kekuatan perekonomian dari politik dari Uni Eropa (European Union). Liberalisasi tersebut memperkuat keterkaitan finansial antarinstitusi, antarpasar, dan antar negara.
Stabilitas Keuangan
Stabilitas keuangan adalah suatu situasi di mana kemampuan untuk memobilisasi simpanan (saving) secara efisien, menyediakan likuiditas, dan mengalokasikan investasi dari institusi keuangan dan pelaku pasar yang lain terpelihara dengan baik. Stabilitas keuangan konsisten dengan kegagalan sebuah atau beberapa institusi keuangan yang terjadi secara periodik (artinya, adanya kegagalan adalah suatu hal yang biasa terjadi, dan stabilitas keuangan tetap terjaga). Kegagalan lembaga keuangan menjadi masalah besar, jika bisa menggoncangkan dan berpotensi menghancurkan stabilitas keuangan.
Stabilitas Moneter
Stabilitas moneter adalah stabilitas atas nilai uang (yaitu, terjadinya inflasi yang rendah dan stabil). Stabilitas keuangan tidak sama dengan stabilitas moneter. Walaupun dapat terjadi bersamaan, tetapi kedua stabilitas ini tidak selalu terjadi bersamaan, misalnya:
· Pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, inflasi rendah (stabilitas moneter), tetapi tak terjadi stabilitas keuangan.
· Pada akhir Perang Dunia I sapai 1980-an, inflasi tinggi dan tak stabil, tetapi stabilitas keuangan tetap terjaga.
· Pada tahun 1980-an sampai saat ini. Inflasi terkontrol (terjadi stabilitas moneter), tetapi tidak meningkatkan stabilitas keuangan.
PENDEKATAN BARU DALAM PEMBUATAN REGULASI
Perkembangan pasar keuangan dan liberalisasi kontrol antarnegara memaksa supervisor, terutama bank sentral, untuk memikirkan kembali bahwa meskipun nilai safety net yang disediakan oleh bank sentral memalui fungsinya sebagai “lender of last resort” tumbuh semakin besar, namun fungsinya sebagai regulator keuangan mulai melemah. Sebelum periode liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an, regulasi keuangan fokus pada:
· Pemberian wewenang, hak, dan kewajiban kepada institusi keuangan (otorisasi institusi keuangan);
· Pendefinisian secara ketat bidang usaha yang diizinkan untuk setiap jenis institusi keuangan; dan
· Definisi dari rasio finansial dan persyaratan untuk menyimpan kas dalam jumlah tertentu di bank sentral, atau memiliki aset (surat berharga) sejumlah tertentu yang diterbitkan pemerintah (surat utang negara).
Supervisor yang prudent mulai melihat pendekatan baru untuk regulasi, sebagai berikut:
1. Menjadikan risk-return menjadi ukuran dari kinerja. Jika supervisor mampu membuat peraturan yang sejalan dengan pasar maka peraturan tersebut akan lebih efektif dan lebih relevan terhadap institusi yang diatur.
2. Meningkatnya globalisasi pada pasar modal mendorong kebutuhan norma kehati-hatian yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan secara konsisten.
3. Regulasi hanya sebagian dari solusi. Risiko dari internasional finansial, secara internasional, sangat bergantung pada isu tentang adanya:
Standar minimum hukum atas kontrak dan kepailitan,
Standar audit dan akuntansi,
Persyaratan disclosure.
DAMPAK POTENSIAL DARI KEGAGALAN PENGELOLAAN RISIKO
Risk event akan berdampak pada bank (berupa kerugian finansial), stakholder bank tersebut (pemegang sham, karyawan, nasabah) dan perekonomian.
Dampak pada Pemegang Saham
Kegagalan dalam mengelolaa risiko selain merugikan bank juga berdampak langsung pada para pemegang saham, dalam bentuk antara antara lain:
· hilangnya seluruh investasi mereka – bangkrutnya perusahaan;
· penurunan nilai investasi – harga saham yang turun karena reputasi yang buruk atau penurunan laba,
· hilangnya dividen sebagai akibat dari penurunan laba perusahaan,
· pemegang saham bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada perusahaan.
Dampak pada Pegawai
Baik pegawai yang terlibat maupun yang tidak terlibat risk event tetap akan terkena dampaknya, seperti:
· Tindakan indisipliner karena kesengajaan atau kealpaan.
· Kehilangan pendapatan, misalnya penurunan bonus ata penundaan peningkatan upah, karena dampak pada pendapatan perusahaan.
· Kehilangan pekerjaan.
Dampak pada Nasabah
Dampak terhadap nasabah memang tidak langsung dan tidak terlihat jelas namun tetap dirasakan, seperti:
· Penuruan kualitas layanan konsumen,
· Penurunan ketersediaan produk,
· Krisis likuiditas
· Perubahan peraturan.
Risiko Operasional dan Pelayanan Nasabah
Jenis risiko yang berdampak pada nasabah sehari-hari adalah risiko operasional. Suatu operasional event akan mempengaruhi secara langsung nasabah melalui kesalahan atau kelemahan kualitas pelayanan, gangguan pelayanan, ketidakamanan yang bersifat persepsi maupun kenyataan, dan tidak adanya pelayanan yang memadai.
Gangguan layanan kepada nasabah berdampak pada reputasi bank, yang akhirnya berdampak pada profitabilitas bank tersebut, karena nasabah pindah ke bank lain. Dampak pada nasabah dapat berakibat terjadinya kerugian finansial lainnya terhadap bank, yaitu ganti rugi pembayaran kepada nasabah sebagai kompensasi, ongkos litigasi, dan denda.
Dampak Ekonomi dari Suatu Kejadian Risiko
Procyclicality
Bank yang “over lent” (terlalu banyak menyalurkan kredit) pada saat boom (ekonomi tumbuh pesat), akan “under lent” (kurang mampu menyalurkan kredit) pada saat resesi. Dampak dari resesi akan mengurangi permodalan, karena bank terpaska melakukan kredit macet. Modal yang rendah mengurangi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Hal ini dapat jelas terlihat pada fenomena “asset bubles” (misalnya properti dan pasar saham di seluruh dunia). Basel II telah dikritik atas meningkatnya “procyclicality” pada penyaluran kredit bank. Basel mengaitkan credit grading models (peringkat) dengan persyaratan permodalan bank, sehingga memburuknya peringkat pada kredit akan berdampak pada peningkatan modal (regulatory capital).
Likuiditas dan Risiko Pasar
Perdagangan aset di pasar meningkat dan market risk event terus membesar, sehingga timbul masalah baru. Model matematis untuk mengidentifikasi dan memahami risiko serta pricing belumlah sempurna, belum menjadi indikator utama, dan belum dapat diandalkan untk memonitor dan mengukur risiko pasar.
Krisis likuiditas jarang terjadi pada retail banking, tetapi sering terjadi pada wholesale banks. Wholesale banks tidak menarikdana masyarakat (nasabah perseorangan) melalui tabungan dan deposito, tetapi menggantungkan pendanaannya dengan menjaminkan aset (misalnya obligasi pemerintah dan obligasi korporasi). Aset tersebut dapat menjadi tidak likuid, karena investor tidak mau membeli aset tersebut, sehingga nilai aset tersebut turun secara drastis.
Tidak likudnya aset dapat mengakibatkan krisis likuiditas (liquidity crisis) tak terhindarkan. Krisis likuditas yang terjadi pada wholesale markets dapat ditekan dampaknya dengan beberapa cara, antara lain dengan meningkatkan kewaspadaan, reaksi yang cepat dari bank sentral, dan pengawasan oleh manajemen bank.
Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX)
Regulasi ini merupakan akibat atas terjadinya skandal akuntansi seperti yang terjadi pada Enron dan WorldCom. SOX menetapkan persyaratan tentang akuntabilitas korporasi. Penerbitan regulasi baru tersebut secara tidak langsung memberikan dampak kepada nasabah bank, baik melalui biaya implementasi maupun perubahan persepsi mengenai nilai-nilai yang ada.
sumber : http://manajemenrisiko.blogspot.com/2008/03/modul-manajemen-risiko-perbankan.html
ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA
API menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan. Krisis ekonomi tahun 1997 menunjukkan bahwa industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan perbankan yang kokoh yang didukung dengan infrastruktur perbankan yang baik sehingga secara fundamental masih harus diperkuat untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal. Belum kokohnya fundamental perbankan nasional merupakan tantangan bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya.
Bertitik tolak dari kebutuhan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan sebagai upaya lanjutan dalam program penyehatan perbankan yang saat ini sedang berjalan, maka sejak dua tahun terakhir dengan masukan-masukan berharga dari berbagai stakeholders, Bank Indonesia telah menyelesaikan penyusunan API. Mengingat API merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program restrukturisasi perbankan maupun white paper penyehatan perbankan nasional pasca IMF, maka Bank Indonesia akan mulai mengimplementasikan API pada tahun 2004. Mengingat lingkup kebijakan dan pembahasan yang akan ditempuh dan perlunya persiapan yang harus dilakukan oleh bank-bank dan Bank Indonesia dalam mengantisipasi perubahan dimaksud, maka implementasi perubahan-perubahan tersebut akan dilakukan secara bertahap.
Enam Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yaitu:
1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional.
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.
4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
Senin, 02 Januari 2012
Manajemen Proyek dan Resiko
Manajemen Proyek dan Resiko
Pengertian Manajemen
Manajemen merupakan sebuah proses terpadu dimana individu-individu sebagai bagian dari organisasi yang dilibatkan untuk merencanakan, mengorganisasikan, menjalankan dan mengendalikan aktifitas-aktifitas, yang kesemuanya diarahkan pada sasaran yang telah ditetapkan dan berlangsung terus menerus seiring dengan berjalannya waktu. Agar proses manajemen berjalan lancar, diperlukan sistem serta struktur organisasi yang solid. Pada organisasi tersebut, seluruh aktifitasnya haruslah berorientasi pada pencapaian sasaran. Organisasi tersebut berfungsi sebagai wadah untuk menuangkan konsep, ide-ide manajemen. Jadi dapat dikatakan bahwa manajemen merupakan suatu rangkaian tanggung jawab yang berhubungan erat satu sama lainnya.
Pengertian Proyek
Proyek merupakan suatu tugas yang perlu dirumuskan untuk mencapai sasaran yang dinyatakan secara kongkrit serta harus diselesaikan dalam suatu periode tertentu dengan menggunakan tenaga manusia dan alat-alat yang terbatas dan begitu kompleks sehingga dibutuhkan pengelolaan dan kerjasama yang berbeda dari yang biasanya digunakan. Menurut DI Cleland dan Wr. King (1987), proyek merupakan gabungan dari berbagai sumber daya yang dihimpun dalam organisasi sementara untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Manajemen Proyek
Manajemen proyek adalah penerapan dari pengetahuan, ketrampilan, ‘tools and techniques’ pada aktivitas-aktivitas proyek supaya persyaratan dan kebutuhan dari proyek terpenuhi. Proses-proses dari manajemen proyek dapat dikelompokkan dalam lima kelompok yaitu : ‘initiating process, planning process, executing process, controlling process dan closing process’.
Bilamana dibandingkan dengan definisi dari proyek, maka semua ‘pekerjaan yang lain’ dianggap sebagai suatu rutinitas belaka. Suatu pekerjaan rutin biasanya berlangsung secara kontinu, berulang-ulang dan berorientasi ke proses. Sebagai suatu proses yang terus menerus, pekerjaan yang rutin tidak dianggap suatu proyek.
Pengertian Resiko
Ada banyak definisi tentang resiko, resiko dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future) dengan keputusan yang diambil berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat ini.
Manajemen Resiko
Manajemen resiko adalah proses pengukuran atau penilaian resiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan resiko kepada pihak lain, menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi resiko tertentu. Manajemen resiko tradisional terfokus pada resiko-resiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian serta tuntutan hukum). Manajemen resiko adalah rangkaian langkah-langkah yang membantu suatu perangkat lunak untuk memahami dan mengatur ketidak pastian (Roger S. Pressman).
Contoh Manajemen Proyek dan Resiko
Contoh manajemen proyek diantaranya adalah : membangun sebuah stadion sepak bola, megelola penelitian berskala besar, melaksanakan pembedahan transplantasi organ tubuh, memasang lintas produksi, atau berjuang mendapatkan ijazah strata satu di suatu perguruan tinggi.
Contoh manajemen resiko diantaranya adalah :
1. Manajement Resiko Proyek Pengembangan Perangkat Lunak Mybiz 2 di Software House ABC
Software House ABC merupakan sebuah perusahaan pembuatan perangkat lunak yang memprioritaskan dirinya dalam pengembangan perangkat lunak produksi masal untuk keperluan perusahaan dagang, khususnya dalam hal inventory dan payroll. Salah satu proyek perangkat lunak yang sedang dikembangkan saat ini adalah MyBiz 2. Dalam proses pengembangannya, seringkali Software House ABC harus menghadapi resiko atau masalah yang sifatnya tidak terduga. Resiko yang muncul akan menghambat jalannya proses pengembangan perangkat lunak. Metode yang digunakan untuk mengatasinya selama ini bersifat reaktif atau hanya akan direncanakan jika resiko sudah benar-benar terjadi. Karenanya Software House ABC membutuhkan sebuah metode manajemen resiko khususnya untuk proyek MyBiz 2 ini. Penelitian ini dilakukan berdasarkan metodologi manajemen resiko proyek pengembangan perangkat lunak yang ada dan dilakukan melalui lima tahap yaitu tahap perencanaan manajemen resiko, tahap identifikasi resiko, tahap analisa resiko, tahap perencanaan respon resiko, dan tahap pengawasan dan kontrol resiko. Tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan manajemen resiko sesuai dengan metodologi yang ada pada proyek MyBiz 2. Hasil yang diharapkan dari penelitian adalah dokumentasi penerapan manajemen resiko proyek pengembangan perangkat lunak MyBiz 2 di Software House ABC.
2. Manajemen Resiko di Institut Teknologi Sepuluh November
Risiko yang tidak teridentifikasi dan terkendali dapat menghambat pencapaian tujuan ITS dan mengganggu kestabilan sistem pendidikan tinggi. ITS sebagai lembaga pendidikan tinggi dan penghasil sarjana-sarjana teknik terbesar di Jawa Timur juga memiliki berbagai macam risiko. Semua kesulitan, hambatan, masalah dan ketidakpastian yang timbul akan diidentifikasi sebagai risiko yang kemudian akan dikelola dalam manajemen risiko. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai manajemen risiko dilingkungan ITS. Untuk itu dalam penelitian ini akan dilakukan pengelolaan risiko pada bidang : Operasional Pendidikan (Akademik) dan Finansial (keuangan) yang merupakan usaha untuk mengetahui, menganalisis dan mengendalikan risiko dalam setiap kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Manajemen Risiko yang bersumber dari The Australian New Zealand Risk Management Standard (AS/NZS 4360:2004) dengan elemen elemen pokok : menetapkan ruang lingkup (konteks), mengidentifikasi risiko, melakukan analisis dan evaluasi terhadap risiko untuk mendapatkan level risiko. Dari level risiko yang didapatkan, kemudian ditentukan penanganannya agar risiko dimasa mendatang dapat dikurangi dampak dan tingkat peluangnya. Terdapat 3 kejadian risiko yang berhasil diidentifikasi adalah Risiko kurangnya kualitas input mahasiswa, risiko kurangnya kualitas output mahasiswa (lulusan) dan risiko tidak disetornya dana PNBP. Risiko dengan level Extreme Risk adalah kategori untuk risiko kualitas input dan risiko dana PNBP, sedangkan risiko kualitas output termasuk kategori Medium Risk.
3. IDENTIFIKASI DAN MITIGASI RESIKO BERKAITAN DENGAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MANAJEMEN RESIKO
PT Unilever Indonesia, Tbk sebagai perusahaan multinasional dengan kapasitas produksi yang tinggi pertahunnya, menerapkan Total Productive Maintenance (TPM) agar dapat menjadi perusahaan kelas dunia baik dalam hal produksi, maintenance, maupun kualitas. Akan tetapi nampaknya penerapan itu belum dapat memaksimalkan efektivitas peralatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi resiko yang berkaitan dengan penerapan TPM dengan efektivitas peralatan sebagai titik utamanya. Penyebab nilai efektivitas peralatan ini akan dilihat melalui indikator kinerja (KPI) pada pilar-pilar yang diterapkan untuk mendukung penerapan TPM. Selain itu cause effect diagram juga digunakan sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi resiko dan segala penyebabnya. Setelah semua resiko teridentifikasi, akan dilakukan analisis, evaluasi, serta langkah mitigasi pada resiko tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah prioritas resiko yang perlu diwaspadai oleh perusahaan beserta langkah mitigasi yang diperlukan untuk menangani resiko tersebut. Adapun mitigasi yang dihasilkan disini adalah control, menghindari, atau mentransfer resiko tersebut.